Masa Berburu dan Meramu

Mata Pelajaran                   : Sejarah Indonesia
Materi Pokok                       : Menelusuri peradaban awal di kepulauan indonesia
Sub Materi Pokok               : Masa berburu dan meramu

Download Materi : 

Materi I : Masa Berburu dan Meramu

a.     Masa Berburu dan MeramuTingkat Sederhana


Di Indonesia tahapan kehidupan sosial ekonomi berlangsung dalam empat tahap, yaitu masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana, masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut, masa bercocok tanam dan masa perundagian.

Peranan sungai dan danau ini berlangsung sejak awal kehidupan manusia hingga saat ini. Pada masa plestosen juga, perubahan iklim terjadi sangat ektrim. Selama kala plestosen telah menyebabkan meluasnya areal es ke sebagian muka bumi (Poesponegoro, 2010:45).

Salah satu ciri utama dalam dalam kehidupan masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana adalah hidup berkelompok kecil. Di Indonesia cara berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana dialami oleh manusia jenis Pithecanthropus dan manusia Wajak. Ketergantungan manusia purba pada alam begitu besar sehingga menyebabkan manusia pada masa itu hidup berpindah-pindah (nomaden). Tujuannya untuk mencari lokasi atau daerah-daerah yang mampu mensuplai kebutuhan makanan yang mereka butuhkan.


Gambar 1. Ilustrasi kegiatan manusia pada masa berburu dan mengumpulkan makanan


b.  Masa Berburu dan MeramuTingkat Lanjut


Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut berlangsung pasca kala Plestosein. Corak hidup pada masa ini masih terpengaruh dari masa sebelumnya. Keadaan lingkungan pada masa pasca Plestosein tidak banyak berbeda dengan masa sebelumnya. Faktor-faktor alam seperti iklim, kesuburan tanah dan keadaan fauna sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup manusia purba.

Di Indoenesia sendiri, mulai timbul usaha-usaha untuk terempat tinggal secara tidak tetap (semi sedenter) di dalam gua-gua alam (caves) atau gua-gua payung atau curuk (rock-shelter) yang ada di tepi pantai (Poeponegoro, 2010:141). Gua yang menjadi tempat tinggal merupakan gua yang dekat dengan sumber air atau berdekatan dengan sungai yang mengandung sumber-sumber kelangsungan hidup.

Teknologi yang digunakan pada saat itu merupakan kelanjutan dari teknologi pada masa sebelumnya. Pembuatan alat-lat batu inti menghasilkan kapak genggam Sumatera dan kapak pendek di beberapa wilayah di Indonesia. Untuk alat serpih-bilah dan alat tulang menjadi alat bantu yang semakin meningkat teknologi pembuatannya. Alat bantu ini memeprlihatkan teknik pembuatan yang semakin kompleks dan rumit. Alat-alat tersbut menunjukkan adanya kegiatan perburuan terhadap hewan-hewan kecil. Disamping alat-alat yang terbuat dari batu, tulang, tanduk dan kulit kerang, pada masa ini mungkin sekali dibuat alat-alat dari bambu.

Ketika bertempat tinggaal di dalam goa, selain membuat alat yang diperlukan, mereka juga melukiskan sesuatu di dinding gua. Lukisan tersebut biasanya tentang pengalaman, perjuangan, dan harapan hidup. Kemudian cap-cap tangan juga dibuat dengan dengan cara merentangkan jari-jari tangan di permukaan dinding gua atau dinding karang yang kemudian disiram dengan cat merah. Sumber inspirasi dari lukisan-lukisan meraka adalah cara mereka hidup ketergantungan pada alam. Dengan demikian lukisan-lukisan dinding gua tersebut melukiskan kehidupan sosial ekonomi dan alam kepercayaan manusia pada waktu itu.


Gambar 2. Lukisan dinding berbetuk hewan di Gua Maros (atas), dan Cap tangan manusia di Gua Leang-Leang (bawah).



C. Masa Bercocok Tanam
Pada masa ini masyarakat mulai menunjukkan tanda-tanda menetap di suatu tempat serta mengembangkan penghidupan baru berupa kegiatan bercocok tanam sederhana dan penjinakan beberapa hewan tertentu. Lokasi tempat mereka tinggal terlihat mulai mendiami lokasi terbuka yang dekat dengan air seperti pinggiran sungai, tepian danau dan daerah pantai. Lokasi yang mereka diami adalah tempat-tempat yang agak tinggi dan bukit-bukit kecil yang dikelilingi oleh sungai atau jurang serta dipagar oleh hutan. Tujuannya adalah untuk melindungi diri dari serangan musuh dan gangguan binatang buas. Terkadang untuk tujuan tersebut dibuat parit dan tanggul pertahanan di sekeliling tempat tinggal.

Pada masa bercocok tanam terjadi peningkatan jumlah penduduk, sehingga berakibat pada semakin tingginya kebutuhan bahan makanan. Akibatnya sistem perladangan lambat laun semakin tidak efektif lagi ditambah dengan lahan pertanian yang banya diubah menjadi lahan pemukiman. Akhirnya masyarakat awal mulai memikirkan cara mengatasi hal ini dengan jalan pertanian yang menetap dan mempertahankan kesuburan tanah dengan pemupukan.



Gambar 3. Bentuk tempat tinggal pada masa bercocok tanam

Konsepsi kepercayaan terhadap roh nenek moyang (animisme) dan benda-benda gaib (dinamisme) mulai berkembang (Noor, 2015:102). Roh dianggap mempunyai kehidupan sendiri dialamnya seperti layaknya manusia yang masih hidup.



D. Masa Perundagian
Masa akhir dalam pra aksara Indonesia atau yang lazim disebut masa logam, oleh HR van Heekeren (1985) disebut sebagai The Brozen-iron Age”. Penyebutan ini didasarkan pada temuan artefak tembaga, dan artefak perunggu dan besi yang ditemukan bersamaan dalam satu konteks. RP Soeroso menyebut masa ini sebagai masa perundagian. Kata perundagian diambil dari kata dasar undagi dalam bahasa Bali. Undagi adalah seorang atau sekelompok atau golongan masyarakat yang mempunyai kepandaian atau keterampilan jenis usaha tertentu, misalnya pembuatan gerabah, perhiasan kayu, sampan, dan batu.

Kehidupan berburu binatang liar seperti harimau dan kijang juga masih dilakukan. Selain sebagai pemburu binatang liar, pertanian dan perladangan menjadi mata pencaharian yang tetap, sehingga diciptakanlah alat-alat logam untuk mendukung kegiatan pertanian dan perladangan. Kaitannya dalam pembuatan alat-alat dari bahan logam, saat itu telah dikenal teknik atau cara yang dikenal dengan teknik cetakan setangkap (bivalve) dan teknik cetakan lilin (a cire perdue).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar